Sebagai Menteri Keuangan, Syafruddin memainkan peran
penting dalam mengelola keuangan negara yang baru merdeka. Salah satu langkah
revolusionernya adalah menggagas kebijakan moneter yang dikenal sebagai
"Gunting Syafruddin" pada 1950, yaitu kebijakan pemotongan nilai uang
untuk mengatasi inflasi tinggi dan membangun kestabilan ekonomi negara.
Kebijakan ini dilakukan dengan memotong setengah nilai uang kertas yang
beredar, sehingga membantu Indonesia dalam menekan inflasi yang disebabkan oleh
perang. Langkah ini kontroversial, tetapi dianggap berhasil dalam mengendalikan
ekonomi pada saat itu (Simanjuntak, 2010).
Selain perannya sebagai ekonom, Syafruddin juga
menunjukkan keberaniannya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Pada masa
Agresi Militer Belanda II tahun 1948, ketika Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta ditangkap oleh Belanda, Syafruddin diangkat sebagai
Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Ia
secara efektif menjadi presiden de facto dan mempertahankan legitimasi negara
Indonesia di tengah situasi genting. Peran PDRI ini krusial dalam menjaga
keberlangsungan Republik Indonesia, sehingga dunia internasional tidak mengakui
klaim Belanda yang menyatakan telah berhasil menduduki Indonesia (Nasution,
2008).
Di bawah kepemimpinan Syafruddin, PDRI berhasil
mengkoordinasikan perlawanan militer dan diplomasi dengan dunia internasional.
Syafruddin dengan tegas menolak tawaran damai Belanda yang tidak mengakui
kedaulatan Indonesia secara penuh. Kepemimpinan Syafruddin pada masa itu
membuatnya dihormati, bukan hanya sebagai pemimpin yang bijaksana, tetapi juga
sebagai sosok yang berani melawan penjajah dengan segala risiko yang dihadapi.
Dalam waktu singkat, ia berhasil membangun komunikasi antara para pejuang dan
pemerintah darurat yang tersebar di berbagai wilayah (Mulyadi, 2015).
Meski banyak jasanya, Syafruddin sering dianggap sebagai
tokoh yang terlupakan dalam sejarah Indonesia. Usai kembalinya Soekarno dan
Hatta, Syafruddin menyerahkan kembali mandat kepemimpinan tanpa syarat. Ini
menunjukkan keikhlasannya dalam mengabdi kepada negara tanpa mencari kekuasaan
pribadi. Ia kembali menjalani kariernya sebagai ekonom, termasuk menjadi
Direktur Utama Bank Negara Indonesia, dan turut serta dalam pembangunan ekonomi
negara pascakemerdekaan (Lubis, 2007).
Di masa tuanya, Syafruddin aktif dalam kegiatan sosial dan
keagamaan. Ia menjadi salah satu pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII), sebuah organisasi yang bertujuan menyebarkan nilai-nilai Islam dan
memperkuat identitas keagamaan bangsa Indonesia. Syafruddin juga dikenal sebagai
seorang yang taat beragama, dengan pemikiran yang moderat namun tegas dalam
memperjuangkan keadilan sosial sesuai dengan nilai-nilai Islam. Perannya dalam
dunia sosial keagamaan ini membuatnya dihormati sebagai tokoh umat, meskipun ia
tidak aktif lagi dalam politik praktis (Rahman, 2016).
Syafruddin Prawiranegara wafat pada 15 Februari 1989 dan
dimakamkan di Jakarta. Namanya dikenang sebagai sosok yang ikhlas mengabdi,
tidak hanya kepada negara tetapi juga kepada masyarakat. Walaupun jasanya
sangat besar, penghargaan yang ia terima tidak sebanding dengan pengorbanan
yang telah ia berikan. Sebagai tokoh yang tidak haus akan kekuasaan, ia kerap
dilupakan dalam catatan sejarah resmi Indonesia. Namun, beberapa kalangan terus
memperjuangkan pengakuan atas jasanya, termasuk usulan pemberian gelar Pahlawan
Nasional yang akhirnya ia terima pada tahun 2011 (Siregar, 2011).
Syafruddin Prawiranegara adalah contoh dari seorang
pejuang yang tulus dan konsisten dalam membela kemerdekaan, meski harus
membayar harga yang mahal. Kisah hidupnya adalah pengingat akan pentingnya
keikhlasan dan pengabdian yang murni kepada bangsa. Sebagai pemimpin, ia
menunjukkan keberanian dan keteguhan dalam menghadapi penjajahan dan tantangan
ekonomi yang sangat sulit. Namanya layak dikenang sebagai salah satu pahlawan
sejati yang tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan, tetapi juga meletakkan
dasar-dasar bagi Indonesia yang berdaulat.
Daftar Pustaka
Lubis, Y. (2007). Perjuangan Ekonomi Indonesia: Kiprah dan
Jasa Syafruddin Prawiranegara. Jakarta: Pustaka Bangsa.
Mulyadi, H. (2015). PDRI dan Peran Syafruddin
Prawiranegara. Bandung: Pustaka Sejarah.
Nasution, A. (2008). Revolusi Kemerdekaan Indonesia: PDRI
di Sumatera Barat. Yogyakarta: LKiS.
Rahman, A. (2016). Syafruddin Prawiranegara: Pejuang yang
Terlupakan. Jakarta: Republika Penerbit.
Siregar, T. (2011). Pahlawan Nasional: Syafruddin Prawiranegara.
Jakarta: Kementerian Sosial RI.
Simanjuntak, D. (2010). Ekonomi di Masa Revolusi:
Kebijakan Gunting Syafruddin. Jakarta: Yayasan Obor.
Syahrial, M. (2018). PRRI: Dari Idealisme ke Otonomi
Daerah. Padang: Andalas Press.