Sang Penyelamat, Sjafruddin Prawiranegara

rm
0


Republikmenulis.com -- Syafruddin Prawiranegara adalah seorang tokoh yang memainkan peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, namun namanya sering kali terlupakan dalam catatan sejarah resmi. Lahir di Serang, Banten, pada 28 Februari 1911, Syafruddin memiliki latar belakang pendidikan yang kuat, khususnya di bidang ekonomi. Ia lulus dari Rechtshoogeschool di Jakarta, sebuah sekolah tinggi hukum pada masa kolonial Belanda. Dengan bekal ini, ia kemudian bekerja sebagai pegawai kolonial sebelum akhirnya bergabung dengan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Di masa-masa awal kemerdekaan, Syafruddin dikenal sebagai seorang ekonom ulung yang menjadi Menteri Keuangan Indonesia pada Kabinet Sjahrir I (1946–1947) dan Kabinet Hatta I (1948–1949).

 

Sebagai Menteri Keuangan, Syafruddin memainkan peran penting dalam mengelola keuangan negara yang baru merdeka. Salah satu langkah revolusionernya adalah menggagas kebijakan moneter yang dikenal sebagai "Gunting Syafruddin" pada 1950, yaitu kebijakan pemotongan nilai uang untuk mengatasi inflasi tinggi dan membangun kestabilan ekonomi negara. Kebijakan ini dilakukan dengan memotong setengah nilai uang kertas yang beredar, sehingga membantu Indonesia dalam menekan inflasi yang disebabkan oleh perang. Langkah ini kontroversial, tetapi dianggap berhasil dalam mengendalikan ekonomi pada saat itu (Simanjuntak, 2010).

 

Selain perannya sebagai ekonom, Syafruddin juga menunjukkan keberaniannya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Pada masa Agresi Militer Belanda II tahun 1948, ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap oleh Belanda, Syafruddin diangkat sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Ia secara efektif menjadi presiden de facto dan mempertahankan legitimasi negara Indonesia di tengah situasi genting. Peran PDRI ini krusial dalam menjaga keberlangsungan Republik Indonesia, sehingga dunia internasional tidak mengakui klaim Belanda yang menyatakan telah berhasil menduduki Indonesia (Nasution, 2008).

 

Di bawah kepemimpinan Syafruddin, PDRI berhasil mengkoordinasikan perlawanan militer dan diplomasi dengan dunia internasional. Syafruddin dengan tegas menolak tawaran damai Belanda yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh. Kepemimpinan Syafruddin pada masa itu membuatnya dihormati, bukan hanya sebagai pemimpin yang bijaksana, tetapi juga sebagai sosok yang berani melawan penjajah dengan segala risiko yang dihadapi. Dalam waktu singkat, ia berhasil membangun komunikasi antara para pejuang dan pemerintah darurat yang tersebar di berbagai wilayah (Mulyadi, 2015).

 

Meski banyak jasanya, Syafruddin sering dianggap sebagai tokoh yang terlupakan dalam sejarah Indonesia. Usai kembalinya Soekarno dan Hatta, Syafruddin menyerahkan kembali mandat kepemimpinan tanpa syarat. Ini menunjukkan keikhlasannya dalam mengabdi kepada negara tanpa mencari kekuasaan pribadi. Ia kembali menjalani kariernya sebagai ekonom, termasuk menjadi Direktur Utama Bank Negara Indonesia, dan turut serta dalam pembangunan ekonomi negara pascakemerdekaan (Lubis, 2007).


Di masa tuanya, Syafruddin aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Ia menjadi salah satu pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebuah organisasi yang bertujuan menyebarkan nilai-nilai Islam dan memperkuat identitas keagamaan bangsa Indonesia. Syafruddin juga dikenal sebagai seorang yang taat beragama, dengan pemikiran yang moderat namun tegas dalam memperjuangkan keadilan sosial sesuai dengan nilai-nilai Islam. Perannya dalam dunia sosial keagamaan ini membuatnya dihormati sebagai tokoh umat, meskipun ia tidak aktif lagi dalam politik praktis (Rahman, 2016).

 

Syafruddin Prawiranegara wafat pada 15 Februari 1989 dan dimakamkan di Jakarta. Namanya dikenang sebagai sosok yang ikhlas mengabdi, tidak hanya kepada negara tetapi juga kepada masyarakat. Walaupun jasanya sangat besar, penghargaan yang ia terima tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah ia berikan. Sebagai tokoh yang tidak haus akan kekuasaan, ia kerap dilupakan dalam catatan sejarah resmi Indonesia. Namun, beberapa kalangan terus memperjuangkan pengakuan atas jasanya, termasuk usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional yang akhirnya ia terima pada tahun 2011 (Siregar, 2011).

 

Syafruddin Prawiranegara adalah contoh dari seorang pejuang yang tulus dan konsisten dalam membela kemerdekaan, meski harus membayar harga yang mahal. Kisah hidupnya adalah pengingat akan pentingnya keikhlasan dan pengabdian yang murni kepada bangsa. Sebagai pemimpin, ia menunjukkan keberanian dan keteguhan dalam menghadapi penjajahan dan tantangan ekonomi yang sangat sulit. Namanya layak dikenang sebagai salah satu pahlawan sejati yang tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan, tetapi juga meletakkan dasar-dasar bagi Indonesia yang berdaulat.

 

Daftar Pustaka

Lubis, Y. (2007). Perjuangan Ekonomi Indonesia: Kiprah dan Jasa Syafruddin Prawiranegara. Jakarta: Pustaka Bangsa.

Mulyadi, H. (2015). PDRI dan Peran Syafruddin Prawiranegara. Bandung: Pustaka Sejarah.

Nasution, A. (2008). Revolusi Kemerdekaan Indonesia: PDRI di Sumatera Barat. Yogyakarta: LKiS.

Rahman, A. (2016). Syafruddin Prawiranegara: Pejuang yang Terlupakan. Jakarta: Republika Penerbit.

Siregar, T. (2011). Pahlawan Nasional: Syafruddin Prawiranegara. Jakarta: Kementerian Sosial RI.

Simanjuntak, D. (2010). Ekonomi di Masa Revolusi: Kebijakan Gunting Syafruddin. Jakarta: Yayasan Obor.

Syahrial, M. (2018). PRRI: Dari Idealisme ke Otonomi Daerah. Padang: Andalas Press.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)