Republikmenulis.com -- Beberapa waktu lalu ada acara pulang kampung di Muna Sulawesi Tenggara, bertepatan dengan acara keluarga. Muna adalah sebuah pulau kars/ atol bertetangga dengan Pulau Buton yg juga pulau bebatuan kars namun dikenal sebagai daerah penghasil aspal terbaik di dunia. Entah kenapa potensi aspal Buton (Butas = Buton Aspalt) tidak lagi menjadi primadona pelapis jalan di Nuswantara.
Keriuhah bersama keluarga dan handai tolan dan kawan sepermainan seakan melupakan segala kepenatan. Berbicara dan bercanda tentang berbagai hal, mulai dari yang biasa-biasa saja hingga yang unik-unik. Tapi semua cerita yang malang-melintang diarea percakapan menimbulkan tawa. Cerita serius ujungnya lucu. Dan ketawa lepas. Apalagi cerita yang tidak serius.
Tapi terasa ada yang hilang dalam perbincangan dan
kehilangannya seolah tidak dihiraukan dan tidak perlu dicari, kenapa dia
hilang.
Hilangnya tidak misterius.
Akan tetapi setiap kita, kami, saya dan mereka seolah
yang hilang itu biarlah hilang.
Ya… kehilangan Bahasa Daerah – bahasa ibu, dalam ranah
obrolan, perbincangan keluargaku. Bahasa yang telah mengantarkan diriku mulai
dari masa kanak hingga masuk generasi “Old”.
Mengisi otak dan pikiranku dengan keindahan dialeg,
kepekatan rasa bahasa dan kentalnya pengucapan huruf “e” dan tebalnya konsonan
“dha” dan tipisnya membunyikan huruf “bha” yang boleh jadi hanya dimiliki oleh
kami dari Muna dan Buton.-
Bahasa Ibu (mother tongue)
yang menjalari seluruh nadi hidupku menggerakkan lidahku untuk larut dalam
tutur kebersamaan dan bersahaja.- Yang senantiasa menghadirkan nuansa bijak
bertutur dan bagaimana menjaga buah-tutur agar tidak menjadi “batu” yang dapat
mengeraskan resonansi suara..
Anak-anak generasi kini nampaknya telah enggan bertutur
dalam bahasa daerah padahal itu bahasa ibunya. Tandanya telah terlihat sejak Pemerintahan
Soeharto kala itu menggencarkan secara masiv penggunaan Bahasa Indonesia.-
Belum lagi gempuran bahasa asing (Arab – Inggris) ke dalam areal pergaulan seolah menjadi trade mark ke-moderen-an si penutur.
Mengapa
Bahasa Daerah – Bahasa Ibu-ku bisa lenyap..?
Tak bisa dipungkiri, ada cukup banyak bahasa-bahasa daerah yang sudah punah atau terancam punah. Sumanto Al Qurtubi[1] mengunggah sebuah tulisan cukup menarik tentang fenomena akan punahnya bahasa daerah dimuat di portal DW[2] dengan kalimat pembuka, “Apakah Anda menguasai bahasa daerah dari mana Anda berasal atau di mana Anda tinggal?”
Tak
bisa dipungkiri, ada cukup banyak bahasa-bahasa daerah sudah punah atau
terancam punah. Ada yang bilang seratusan bahasa-bahasa daerah itu yang sudah
menjadi “almarhum.” UNESCO juga sudah memberi peringatan keras, sangat keras,
atas ancaman kepunahan berbagai bahasa daerah tersebut. Tahun 2009 saja, UNESCO
pernah mencatat lebih dari seratus bahasa daerah di Indonesia yang punah atau
nyaris punah. Peringatan juga datang dari Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gejala atau fenomena kepunahan
bahasa daerah ini tentu saja harus disikapi dengan serius. Apalagi Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah bahasa daerah terbesar
di dunia (bahkan nomor dua di dunia setelah Papua Nugini).
Dalam Ethnologue:
Language of The World (2005) dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 742
bahasa, 737 bahasa di antaranya merupakan bahasa yang masih hidup atau masih
digunakan oleh penuturnya. Sementara itu, terdapat dua bahasa yang berperan
sebagai bahasa kedua tanpa penutur bahasa ibu (mother-tongue), sedangkan tiga bahasa lainnya telah punah.[3]
Beberapa di antara bahasa bahasa
yang masih hidup tadi diperkirakan berada di ambang kepunahan atau terancam
punah (potentially endangered languages).
Ada yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah penuturnya karena penutur aslinya
tinggal beberapa orang saja, tetapi ada pula bahasa-bahasa yang terdesak oleh
pengaruh bahasa-bahasa daerah lain yang lebih dominan. Tak bisa dilupakan pula
akan halnya pengaruh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional terutama dalam
berbagai ranah resmi (formal) seperti
pemerintahan dan pendidikan, yang seringkali menyebabkan frekuensi pemakaian
bahasa daerah semakin berkurang. Selain itu, kondisi masyarakat Indonesia yang
multietnik dengan bahasa dan kebudayaannya masing-masing sudah tentu membuka
peluang terjadinya kontak melalui komunikasi dan interaksi antar etnik yang
berbeda bahasa dan kebudayaan tersebut.
Sejumlah Faktor
Mendasar
Soeharto tentu sangat berjassa “menasionalkan” bahasa Indonesia melalui sekolah-sekolah dan kurikulum pendidikan yang wajib hukumnya dipelajari peserta didik dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi.
Faktor
lain yang tidak kalah pentingnya adalah globalisasi, khususnya globalisasi di
bidang teknologi dan informatika. Serbuan gelombang globalisasi melalui media
massa dan sosial media yang masuk ke berbagai daerah jelas berkontribusi bagi
merosotnya bahasa lokal.
Merosotnya
jumlah penutur bahasa daerah juga menjadi faktor penting penyebab punahnya
bahasa daerah tersebut. Banyak bahasa daerah yang kehilangan para penuturnya seiring
pergantian generasi. Sedangkan generasi muda penerusnya tidak lagi memiliki
kepedulian atau loyalitas terhadap bahasa leluhur mereka.[4]
Praktik
perkawinan silang (crossbreeding). Praktik kawin-mawin dengan pasangan dari
etnis atau daerah lain yang berbeda bahasa daerah mendorong mereka untuk
“berkompromi” dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia dalam
berbahasa dan berkomunikasi sehari-hari.
Fanny
H. Tondo[5]
mengungkap sejumlah alasan mengapa bahasa daerah terancam punah. Ada beberapa
faktor yang sangat berperan dalam kepunahan bahasa daerah diantaranya :
Faktor pertama, yaitu pengaruh bahasa mayoritas di mana bahasa daerah tersebut digunakan. Hal ini dapat dilihat dalam kasus bahasa Yaben yang digunakan di Kabupaten Sorong Selatan, terutama di Kampung Konda dan Wamargege.
Faktor kedua adalah kondisi masyarakat
penuturnya yang bilingual atau bahkan multilingual. Artinya, kondisi di mana
seorang penutur mampu menggunakan dua bahasa atau bahkan multi bahasa. Pada
situasi seperti ini sering terjadi alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) berkaitan dengan penggunaan beberapa leksikon maupun
frase bahasa lain dalam tuturan (utterance).
Faktor Ketiga adalah faktor globalisasi - sebagaimana juga disampaikan oleh Sumanto Al Qurtubi bahwa Era globalisasi sekarang ini yang terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah mendorong penutur sebuah bahasa untuk secara berhasil dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan penutur bahasa lain yang berasal dari negara lain terutama negara yang berbahasa Inggris dan bahasa Arab ditambah satu lagi yakni Bahasa China.
Faktor Keempat yaitu faktor migrasi (migration). Migrasi penduduk keluar dari daerah asalnya baik karena pekerjaan, pendidikan, keluarga, maupun karena beberapa faktor lainnya turut pula menentukan kelangsungan hidup bahasanya.
Dan masih banyak lagi faktor-faktor yang memengaruhi kondisi kepunahan bahasa daerah.
Perlukah ini
semua kita ratapi?
Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dalam sambutan pembukaannya
pada Kongres Bahasa-Bahasa Daerah di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu 22 Juli
2007 (tujuh belas yang lalu), sebagai berikut: “Hilangnya bahasa-bahasa daerah tidak perlu ditangisi karena merupakan
hal yang lumrah terjadi, seiring dengan tuntutan zaman. Kita harus sadari,
bahasa daerah penting. Namun, karena kondisi saat ini yang semakin global, kita
membutuhkan bahasa persatuan yang lebih cepat untuk berkomunikasi sehingga
tidak perlu ditangisi bila bahasabahasa daerah semakin berkurang.” (Kompas,
Juli 2007).-[6]
Tentu pernyataan Beliau mesti ditanggapi dengan arif dan bijaksana.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi fenomena kepunahan bahasa perlu dilakukan berbagai upaya cerdas dan serius. Hal ini tidak saja dapat dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi juga oleh komunitas etnik penutur bahasa tersebut dengan cara tetap menjaga loyalitasnya kepada bahasa daerahnya sendiri agar tetap tinggi sehingga tidak terjadi pergeseran bahasa yang pada akhirnya dapat menjurus kepada kepunahan.
Upaya
perlindungan bahasa
Upaya
pelindungan bahasa memang usaha yang hasilnya tidak “nyata” secara
materi-ekonomis, tetapi usaha ini merupakan perjuangan untuk memberikan
sumbangan signifikan dalam rangka menjaga kekayaan batin bangsa (sesuatu yg
menyangkut jiwa [perasaan hati, dan sebagainya], semangat, hakikat).[7]
Pelindungan bahasa daerah merupakan tanggung jawab kita bersama.
Langkah spesifik dan naturalis perlindungan bahasa dari kepunahan adalah dimulai dari sel terkecil yakni keluarga.
Kita
hanya butuh langkah sederhana namun efektif
dan
dapat dilakukan untuk melestarikan bahasa ibu atau bahasa daerah di lingkungan
keluarga antara lain adalah sebagai berikut.
1.
Mengenalkan bahasa daerah kepada anak-anak sejak dini.
2.
Selalu berkomunikasi dengan anggota keluarga dengan menggunakan bahasa daerah.
3.
Memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa bahasa daerah adalah warisan budaya
yang harus dilestarikan.[8]
[1] Antropolog budaya, ilmuwan sosial, penulis, kolumnis, profesor,
peneliti, pembicara publik, anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation,
dan Presiden Nusantara Institute..
[2] https://www.dw.com/id/ancaman-kepunahan-bahasa-daerah-di-indonesia/a-55202134, Diakses tgl 11 Juli 2024
[3] Fanny Henry Tondo, “KEPUNAHAN
BAHASA-BAHASA DAERAH: FAKTOR PENYEBAB DAN IMPLIKASI ETNOLINGUISTIS1”
[4] Sumanto Al Qurtubi, https://www.dw.com/id/ancaman-kepunahan-bahasa-daerah-di-indonesia/a-55202134, Diakses tgl 11 Juli 2024
[5] Fanny Henry
Tondo, - idem-
[6] Fanny Henry
Tondo, - idem
[7] Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dr.Hurip Danu Ismadi,M.Pd. “Kebijakan Pelindungan Bahasa
Daerah dalam Perubahan Kebudayaan Indonesia”
[8] Rulin Dwi Wahyuningsih , Kompasiana.com dengan judul "Melestarikan
Bahasa Ibu Dimulai dari Keluarga"