Katoba, berasal dari kata “toba”
yang bermakna “penyesalan”.- Tradisi katoba dilaksanakan setelah seorang
anak melaksanakn tradisi “kangkilo” (sunatan secara tradisonal).- Tradisi
katoba merupakan ritual masyarakat Wuna yang mengandung ajaran pendidikan
karakter dan tata cara interaksi sosial untuk membentuk karakter masyarkat
dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islami.
Nasehat penting
dalam pelaksanaan tradisi katoba yaitu dososo (menyesal), dhobotuki
(memutuskan), dofekakodoho (menjauhkan), dan dofekomiinahi (menolak
untuk mengulangi).- Masyarkaat Wuna mengawalli tradisi katoba melalui
serangkaian prosesi Islamisasi dan dan akulturasi nilai-nilai fundamental suku
Wuna dengan nilai-nilai Islam. Pelaksanaan tradisi katoba peraama kali terjadi
pada masa pemerintahan Raja Wuna XIII (1671 – 1716) yatiu Raja La Ode Abdul
Rahman yang bergelar Sangia Latugho. Sejak saat itu, tradisi katoba terus
berkembang, dan tetap dipertahankan serta hidup di tengah-tengah maasyarakat
Wuna Sulawesi Tenggara.[1]
Katoba juga berasal
dari kata "toba” berasal dari bahasa Arab yakni taubah yang berarti
menyesal atau taubat. Secara harfiah taubat disini dapat berarti
menyesali segala perbuatan buruk yang pernah dilakukan dan berjanji untuk tidak
mengulanginya kembali di kemudian hari.
Ritual katoba ini
secara adat bagi sebagian besar masyarakat suku Wuna merupakan hal
"wajib" untuk dilaksanakan bagi anak yang telah memasuki usia akil
baliq, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dan seringnya upacara atau ritual
katoba ini dirangkaikan dengan selesainya anak dikhitan atau disunat.[2]
Bagi Masyarakat Wuna
anak-anak yang berusia 7-12 tahun setelah melakukan khitan harus diikuti dengan
ritual katoba, sebagai bentuk legitimasi adat untuk memberikan "fondasi
akhlak" bagi anak dengan menanamkan nilai-nilai adat, budaya dan agama
bagi anak agar dijunjung tinggi dan diterapkan dalam kehidupannya setelah
dewasa nanti. Nilai-nilai yang ada dalam tuturan ritual katoba adalah
nilai-nilai ketuhanan, nilai ketaatan untuk beribadah kepada Tuhan dan
menghargai hubungan antar manusia dan juga dengan alam.
Nasihat-nasihat
dalam ritual katoba mengandung kearifan lokal yang bernilai universal, seperti moasiane,
mooloanda ‘sayangi, lindungi;. Selaras dengan materi pendidikan berbasis
kebudayaan dalam perspektif agama Islam, yakni saling menghargai, menghormati,
peduli sesama. Materi pendidikan berbasis kearifan lokal bukan untuk menyemai
bibit-bibit primodialisme, wawasan sempit kedaerahan, melainkan untuk memupuk
kemampuan agar memiliki daya tahan, daya saing, daya kreatif, daya integratif,
dan daya inovatif dalam membangun karakter bangsa.[3]
Prosesi KATOBA
Rangkaian ritual
katoba dimulai dari tahap persiapan ritual yang disebut gholeono metaa
(menentukan hari baik), yang dilakukan oleh “orang tua” yang disebut pande
kutika, yaitu “orang tua” atau tokoh yang dianggap mengetahui tentang
hari-hari baik dan tahu cara menetapkannya.
Prosesi tradisi katoba sebagai pembentuk karakter anak pada
masyarakat Wuna terdiri dari 3 tahapan yaitu:
1.
Tahap pra – katoba, yang dimulai dengan
menentukan hari baik dan ali kita,
2.
Tahap prosesi katoba yang dimulai
dengan :
a)
Pembukaan,
b)
Dofotoba,
c)
Mendengarkan petuah katoba yang berisi
ungkapan lansaringino, ungkapan haku-naasi, dan ungkapan menjaga keseimbangan
hubungan alam dan lingkungan.
3.
Pasca katoba (pembacaan doa selamat).
Makna yang terdapat dalam proses pelaksanaan katoba adalah dengan harapan anak
yang di toba dapat memahami batasan etika, norma-norma dalam kehidupan
bermasyarakat serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Dalam prosesi pelaksanaan tradisi katoba terjadi
interaksi verbal antara imamu dan
anak. Interaksi verbal tersebut, selain tercermin melalui bahasa sehari-hari
anak, hadir pula kemasan bahasa figuratif (figurative
language). Pemakaian bahasa figuratif tersebut, selain untuk memudahkan
pemahaman anak terhadap nasihat/pesan katoba yang
disampaikan, juga untuk memberikan makna khusus atau efek tertentu.[5]
Pada prosesi tersebut, laki-laki didandani rapi dengan
pakaian adat yang disesuaikan dengan golongan sosial anak tersebut. Golongan
Kaomu berpakaian adat lengkap dengan keris layaknya seorang raja, sedangkan
golongan maradika memakai pengikat kepala atau kopiah yang biasa dipakai oleh
lakina agama. Untuk anak perempuan mengenakan pakaian adat lengkap dengan
perhiasan keluarga (atau bagi yang tidak memiliki perhiasan keluarga,
dipinjamkan dari orang lain). Mereka pun memakai bedak berwarna putih atau
kuning muda, kemudian alis mereka dibentuk seperti bulan sabit, dan rambut yang
berada di dekat telinga dipotong. Sebagai pemanis terakhir disematkan sebuah
pena yang terbuat dari emas atau perak.
Proses Katoba dilangsungkan setelah
anak-anak sudah dikhitan. Katoba pun juga dapat dilakukan setelah khitanan
maupun di lain waktu setelahnya. Adapun hal-hal yang diajarkan dalam prosesi
Katoba, yaitu :
a. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
b. Seorang anak harus menghormati dan menghargai orangtua laki-laki
karena dianggap sebagai pengganti Allah SWT. Orangtua laki-laki yang
dimaksudkan di sini bukan hanya ayah, melainkan semua laki-laki yang lebih tua.
c. Seorang anak harus menghormati dan menghargai orangtua perempuan
(semua perempuan yang lebih tua) karena dianggap sebagai pengganti Nabi
Muhammad SAW.
d. Seorang anak harus menghormati dan menghargai kakak (semua orang
yang lebih tua) karena dianggap sebagai pengganti malaikat Jibril
e. Seorang anak harus menghargai dan menyayangi adik (semua orang
yang lebih muda) karena dianggap sebagai pengganti seluruh kaum mukminin.
Selain kelima hal di atas, seorang anak
yang menjalani prosesi Katoba diajari mengenai air-air yang suci (hujan, embun,
sumur, laut, dsb), bagaimana menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi
larangan-Nya. Setelah itu, barulah seorang Imam membacakan doa setelah
menyalakan dupa dan menyajikan sesajen. Sesajen tersebut tidak dimaksudkan
untuk menyembah berhala, akan tetapi nantinya sesajen tersebut dimakan oleh
anak-anak yang telah menyelesaikan prosesi Katoba.[6]
Lebih jelasnya lagi, bahasa figuratif (figurative language) dalam
prosesi katoba sesungguhnya bernuansa transformasi literasi dari hati ke hati
antara Imam dan anak (pelaku pertobatan) seperti nampak dalam ungkapan-ungkapan tradisi katoba
yang dapat diuraikan sebagai berikut:[7]
Imamu{1} : Otumobadamo inie ‘Saya akan tobat anak-anak ini’ (a)
Anak : Uumbe ‘Iya’(b)
Imamu : Miina otumobaagho kamanusiaoomua ‘Saya tidak tobatkan diri
kemanusiaan kalian’(c)
Anak : Uumbe ‘Iya’(d)
Imamu : Otobagho sikadhi morimbi ‘Kamu tobatkan perlaku kalian yang
salah’(e)
Anak : Uumbe ‘Iya’(f)
Imamu : Sikadhi humala ‘Perilaku yang keliru’(g)
Anak : Uumbe ‘Iya’(h)
Imamu : Fotobanoa sikadhi kumantibha ‘Yang mentobat perilaku yang
benar’ (i)
Anak : Uumbe ‘Iya’(j)
Ajaran Moral Akhlaqul Karima[8]
Menjadi menarik sesunguhnya, inisiasi tuturan [1.a-j]
di atas menunjukkan adanya hubungan non-linear dan bersifat doktrinatif agar
tertanam kuat dalam alam bawah sadar si anak karena akan menjadi bekal baginya
demi menghadapi masa dewasanya dikemudian hari.-
Dikala imamu meminta izin kepada orang tua si anak
yang di-katoba bahwa prosesi katoba akan segera mentaubat anak yang akan
di-katoba. Kemudian imamu mengatakan bahwa yang akan ditaubat bukanlah kamunusiaoomua
‘diri kemanusiaan kalian’ (e) tetapi yang ditaubat adalah sikadhi
morimbi ‘perilaku yang salah’ (g), sikadhi humala
‘perilaku yang keliru’ (i), serta yang mentaubat adalah sikadhi
kumatibha ‘perilaku yang benar’.
Pendidikan karakter yang tampak pada tuturan [1.a-j]
adalah nilai harga diri seorang manusia. Bahwasanya, antara (imamu) dan anak
yang di-katoba memahami diri mereka sebagai manusia biasa yang menempatkan diri
mereka pada posisi yang saling mengingatkan dan menasihati.
Tampak sekali pada ungkapan yang bukan diri
mereka sebagai manusia (secara fitrah adalah baik, suci), tetapi yang ditaubat
adalah perilakunya. Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki nilai harga
diri, yang mengubah diri mereka baik dan buruk adalah perilakunya.
Imamu [2] :
Sarai maitu toba popaa ‘Syarat tobat ada empat’(a)
Anak : Uumbe ‘Iya’ (b)
Imamu : Totolu ne lahataala ‘tiga ada pada Allah Swt’(c)
Anak : Uumbe ‘Iya’(d)
Imamu : Seise nemanusia bhainto ‘Satu ada sesama
manusia’(e)
Anak : Uumbe ‘Iya’(g)
Imamu : bhabhaano dososo ‘pertama menyesal’(h)
Anak : Uumbe ‘Iya’(i)
Imamu : Maanano dososogho diunto humala
nemanusia bhainto ne ompu lahataala ‘maknanya menyesali kesalahan kita pada
orang kepada Allah Swt.’ (j)
Anak : Uumbe ‘Iya’(k)
Imamu : doruduagho dofekakodoho ‘Kedua
yang dijauhi’(l)
Anak : Uumbe ‘Iya’(m)
Imami : Fekakodohoemo diu humalano, pogau
humalano ne manusia bhainto ‘Jauhilah perbuatan yang salah, perkataan yang
salam sama orang lain’ (n)
Anak : Uumbe ‘Iya’(o)
Imamu : Totoluno tobhotuki ‘Yang ketiga
memutuskan’ (p)
Anak : Uumbe ‘Iya’ (q)
Imamu : Tobhotuki maitu paemo naembali
orumabu diu tora amaitu ini ‘Memutuskan itu artinya tidak boleh lagi mengulangi
perbuatanmu tadi’(r)
Imamu : Popaano hakunasi, panaembali
omefunae ‘Keempat hak orang lain. Tidak boleh kamu pikirkan’ hintu(t)
Anak : Uumbe ‘Iya’(u)
Imamu : Ane damefunaa angha, lahae
somekorupsino nagha.(v).
Mai setampu karoo panembali damalae,
setampu deu, sehae maitu? (w)
Odeu nopobheramu tamaka panaemblai omalae
hintu ane pasoanu hakumu. (x)
Otumanda-tandai eemu nagha elae`. ‘Kalau
dipahami itu, siapa yang melakukan korupsi. Biar sepotong siri tidak boleh
diambil, sepotong jarum, berapa itu? Jarum sudah patah tetapi tidak boleh kamu
ambil kalu bukan hak kamu. Kamu ingat-ingat itu. (y)
Anak : Uumbe ‘Iya’(z)
Berdasarkan ungkapan
[2a-z] di atas menunjukkan bahwa syarat toba yang harus dipatuhi anak, yakni
terdiri atas empat, yakni :
(1). Dososo
‘menyesal’, artinya menyesali segala perbuatan pada manusia lain kepada Allah
Swt.. Semua jenis perbuatan yang menyakiti hati orang lain segera minta maaf
kepada Allah Swt. Perbuatan ‘diu’ yang salah, misalnya perkataaanmu yang
menyinggung perasaan orang lain, atau membohongi orang tuamu, atau
teman-temanmu;
(2). Fekakodoho
‘jauhi’, artinya menjauhi diu humala ‘perbuatan yang salah’, pogau humala ‘perkataan
yang salah pada orang lain’;
(3) Bhotuki
‘putuskan’, artinya sudah tidak mengulangi perbuatan (yang salah) tadi.
Perbuatan yang salah pada Allah Swt., kesalahan pada manusia lainnya,
perkataan, perilaku, mulai haru ini kamu kamu putuskan untuk ditinggalkan; dan
(4) Hakunaasi ‘hak
orang lain’ . Hak orang lain tidak boleh diambil tanpa seizin pemiliknya.
Nilai karakter yang
menonjol pada data tuturan [2a-z] di atas adalah pentingnya anak yang di-katoba
jujur pada diri sendiri dan tidak mengambil barang orang lain meskipun sudah
tidak berguna. Seorang anak yang di-katoba tidak dilarang untuk memikirkan hakunaasi
‘hak orang lain”. Sebab apabila seorang anak memahami hakunaasi ‘hak orang
lain’ tidak akan ada yang korupsi ‘mengambil hak orang lain’.
Barang-barang yang
tidak berharga, seperti setampu karoo ‘satu potong sirih’, setampu deu
‘jarung yang patah’, tidak berguna. Odeu nopobheramu tamaka panaemblai
omalae hintu ane pasoanu hakumu ‘Jarum sudah patah tetapi tidak boleh kamu
ambil kalu bukan hak kamu’.
Anak yang di-katoba
dinasihati oleh imamu agar anak dalam melakoni kehidupannya jauh dari
sifat-sifat tercela, tidak serakah, yang merupakan tipe manusia yang suka
menjadi koruptor. Dalam konteks tradisi katoba dikenal dengan hakuanaasi ‘hak
nahas/hak orang lain’ atau dikenal dengan hakuno manusia bhainto ‘hak manusia lain/hak
orang lain’.
Hak-hak orang lain
pada zaman dahulu dikelompokkan dari yang berharga hingga yang tidak berharga.
Barang-barang yang berharga (mobhalano) adalah obulawa, ointan, omanikamu
‘emas, intan, berlian/manik-manik’. Larangan untuk mefuuna ‘berniat untuk
mengambil barang tersebut) baik yang berharga maupun yang tidak berharga.
Barang-barang yang
tidak berharga seperti setampu deu, sefue karoo, seghi bhea ‘Barang ini tidak
berharga tetapi yang namanya hak miliknya oarng lain tidak boleh ada dalam
pikiran kita’. Perilaku orang yang mengambil hak orang lain yang bukan haknya,
digambarkan seperti tuturan nakoghuluha maitu. Tamaka sakukata hakuno
manusia bhainto panaembali omefunae, ‘Yang kecil sepotong jarum, sepotong buah
sirih, sepotong pinang. Barang ini tidak berharga tetapi yang namanya hak
miliknya orang lain tidak boleh ada dalam pikiran kita’ Panembali omake
hintu, panaembali omalaehitu ‘Tidak boleh kamu gunakan, tidak boleh kamu ambil’.-
Yang tidk kalah
menarik adalah nasihat imamu yang memberitahukan pada anak mengenai siapa yang
akan ditakuti, dan disayangi dalam hidup di dunia ini, yang terdiri atas
keluarga inti, yakni ama atau kamokula moghane ‘ayah’, ina atau kamokula
robhine ‘ibu’, isa ‘kakak’ dan ai ‘adik’.
Imamu[3] : Aitu, amoratoangkomu,
sonimotehimu, sonimologhoomu, odumadi tedhunia ini. ‘Sekarang saya mau
sampaikan yang kamu takuti, yang kamu sayangi, kamu hidup di dunia ini.
(a)
Anak : Uumbe ‘Iya’(b)
Dalam ajaran katoba
keluarga inti ini harus ditakuti, seperti diuraikan lebih lanjut pada cuplikan
data berikut ini.
Imamu[4] : Kamokulamu moghane omotehie lansaringano
lahataala, kamokulamu robhine omotehie lansaringano anabi muhamadhi, opoisaha
omotehie lansarinagino malaikati, opoahiha(a).
Tanda-tandai nagha doasianda, dooloanda
lansaringino mu’min ‘Orang tuamu laki-laki kamu takuti ibaatnya Allah Swt.,
orang tuamu perempuan ibaratnya Nabi Muhammad, kakak ditakuti ibaratnya
Malaikat, adik ditakuti. Ingat-ingat itu adik disukai, disayangi ibaratnya
mukminin’(b)
Anak : Uumbe ‘Iya’(c)
Ungkapan [4a-b] di
atas menggambarkan bahwa orang tua (laki-laki dan perempuan) harus diikuti,
ditakuti, dihormati, dan dihargai. Bahkan, mengenai hal ini La Taena, dkk.
(2017) mengungkapkan bahwa penggunaan lansaringino dalam nasihat katoba
dimaknai ‘ibarat atau semisal’, jadi ayah tidak benar-benar menyamai atau
menyerupai Allah, begitu pula ibu tidak benar-benar menyamai nabi Muhammad.
Allah Swt. tidak
dapat bisa disamakan dengan hamba-Nya, demikian pula Nabi Muhammad tidak bisa
disamakan dengan manusia biasa. Hanya saja masyarakat Muna menerangkan sesuatu
dengan ibarat atau samsil. Konsep kosmologi masyarakat Muna yang melekatkan
penciptaan pada sosok ayah dan kemanusiaan pada sosok ibu berhubungan dengan
kepercayaan Tuhan pencipta yang bisa diindra dan tidak bisa diindra.
Masyarakat Muna
menyebutnya sebagai Tuhan yang nyata. Nasihat untuk taat dan patuh kepada ayah,
ibu, kakak, dan adik. Data tuturan [4] di atas merupakan pengenalan Allah,
nabi, malaikat, dan mukmin yang masih abstrak. Kemudian, imamu mengenalkan
kepada anak yang dikatoba dengan cara yang mudah dan dapat dijangkau
pengetahuannya anak yang di-katoba. La Taena (2017) mengemukakan bahwa
masyarakat Muna memandang bahwa pengenalan konsep-konsep tersebut pada anak
dilakukan dengan pertimbangan kapasitas pemahaman dan pengertian anak masih
sederhana, sehingga memerlukan penjabaran yang lebih konkret dan mudah
dipahami.[9]
Penutup
Orang Wuna meyakini
bahwa Agama (Islam) merupakan satu-satunya agama sekaligus sistem yang yang
layak dijadikan pedoman hidup. Kelengkapan cakupan aspek-aspek kehidupan Islam
(sebagaimana disebutkan seara rinci dalam al Quran) mencakup keyakinan, moral,
tingkah laku, perasaan, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, militer /
pertahanan keamanan dan perundang-unddangan.-[10]
Islam
mengandungkonsep keyakinan paripurna bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan
/ Ilah, Dia Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, Tiada Mengantuk dan Tidak Pula
Tidur. Sebagai panduan bagi seorang Muslim atas keyakinan ini, Allah swt
menyatakan Diri-NYA untuk diyakini seperti dinyatakan dalam QS. Al Baqaarah :
255.-
Prinsip-prinsip
keshalehan dan keutuhan keyakinan menurut Al Qur’an, oleh Suku Wuna dipegang
erat sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditukar dengan apapun. Islam
adalah Harga Mati. Konsep ini diimplementasi lewat Katoba. Mengapa harus
katoba, karena katoba adalah sarana ideal mendelegasikan keyakinan dimulai dari
masa baligh untuk ditransformasi menjadi tata-nilai dalam pergaulan ketika dewasa
kelak.-
Proses transformasi
nilai dan keluhuran adat berbasis pemahaman akan kebenaran Islam, oleh para
tetua disajikan dalam bentuk narasi yang sederhana, mudah diingat dan
menjangkau dikalbu yakni “Adhati Kosandigho Sara – Sara Kosandigho Kitabullaah”.-
Breakdown motto diatas adalah “Hansuru hansuru badha sumano kono hansuru liwu, Hansuru hansuru
ana liwu sumano kono hansuru adhati, Hansuru hansuru ana adhati, sumano tangka
agama”.
Falsafah hidup orang Muna ini memiliki
arti “Biar hancur badan
asalkan daerah/kampung terjaga, Biar hancur daerah/kampung asalkan adat
istiadat terjaga, Biar hancur adat istiadat asalkan agama (Islam) tetap tegak”.
Sejatinya setiap Mieno Wuna (Orang Muna) harus
hidup dalam jiwa dan kebathinannya akan wasiat Lakilaponto pada saat memerintah
Kerajaan Muna, menanamkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu:[11]
1.
Pobini-biniti kuli, (saling tengang rasa)
2.
Poangka-angka tau, (Saling harga-menghargai)
3.
Poma-masigho, (Saling sayang- menyayangi)
4.
Poadha-adhati. (Saling menghormati)..
Wassalaam
Bekasi, 10
Oktober 2023
(Penulis adalah Adjinur Halidin, Pemerhati Sosial dan Pendidikan)
KEPUSTAKAAN
:
1. Abdu Rauf Ode Ishak – Sejarah Tradisi Katoba di
Kerajaan Wuna Pada Masa Pemerintahan Raja Muna XIII La Ode Abdul Rahman gelar
Sangia Latugho;
2. Chaerul Sabara - kompasiana.com/tradisi-katoba-di-Wuna-adaptasi-budaya-lokal-dan-ajaran-islam;
3. Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman,
Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada
Masyarakat Etnis Muna;
4. Hesti,
Ahmad - Tradisi Katoba Pembentuk Karakter Anak Di
Muna;
5.
Hadirman
- Sejarah dan
Bahasa Figuratif dalam Tradisi Katoba pada Masyarakat Wuna;
6.
Hardin (Kajian Budaya UNUD) – Katoba;
7. Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam
Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;
8. Ardianto, Rukmina
Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa
Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;
[1]
Abdu Rauf Ode Ishak – Sejarah Tradisi Katoba di Kerajaan Wuna Pada Masa
Pemerintahan Raja Muna XIII La Ode Abdul Rahman gelar Sangia Latugho;
[2] Chaerul Sabara - kompasiana.com/tradisi-katoba-di-Wuna-adaptasi-budaya-lokal-dan-ajaran-islam;
[3]Ardianto,
Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai
Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;
[4]Hesti,
Ahmad - Tradisi Katoba Pembentuk Karakter Anak Di
Muna;
[5]Hadirman
- Sejarah dan Bahasa Figuratif dalam Tradisi Katoba pada Masyarakat Wuna;
[6] Hardin (Kajian Budaya UNUD) – Katoba;
[7]
Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai
Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;
[8]
Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai
Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;
[9]
Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai
Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;
[10] Laode Muhammad Ramadhan - Muna; Agama (Islam) adalah Benteng Utama dan Terakhir;
[11] Wikipedia - Lakilaponto