RepublikMenulis.Com - Pada dasarnya
budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan
dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial kemasyarakatan. Pelaksanaan
nilai-nilai budaya merupakan bukti legitimasi masyarakat terhadap budaya.
Eksistensi budaya dan keragaman nilai-nilai luhur kebudayaan yang dimiliki oleh
suku bangsa di Indonesia merupakan sarana dalam membangun karakter warga
negara, baik yang berhubungan dengan karakter privat maupun karakter
publik.
Orang Buton dan
Muna berasal dari rumpun yang sama sebagai rumpun campuran berbagai etnis yang
terekam oleh sejarah antropologi. Percampuran rumpun etnis dari berbagai
belahan ini masing-masing hadir dengan alasannya sendiri-sendiri pula.
Menurut Sarasin Bersaudara dan Bernhard
Hagen, Orang Muna yang mereka sebut sebagai Tomuna merupakan penghuni pertama
Kepulauan Muna bahkan termasuk penghuni pertama Kepulauan Nusantara. Baik
Sarasin maupun Bernhard berpendapat bahwa Tomuna di Pulau Muna dan Tokea di
Sulawesi Bagian Tenggara ( Konawe Utara saat ini ) bersama Toala di
Sulawesi Selatan dan Orang Kubu di Sumatra, adalah migrant dari benua
Afrika melalui Saylon yang masuk di Nusantara sekitar 60.000 – 50.000 SM.[1]
Orang Muna saat ini bukanlah asli dari keturunan
migrant yang pertama kali (60.000 – 50.000 SM), tetapi telah
terjadi percampuran dengan ras Austronesia –yang datang pada era berikutnya
(7.000- 5.000 SM) dan ras Melanosoid ( Doutro Melayu & Protto Melayu) serta
Mongoloid yang datang sekira 4000 – 2000 tahun SM. Asumsi ini didasarkan pada
fakta dimana Bahasa Muna merupakan lingua franca Orang Muna masih satu
rumpun Bahasa Austronesia ( Rene Van Deberg , 2006 ; 115).
Dari relief yang ada di dinding goa yang da di kompleks goa
Liangkobhori tergambar bahwa walau Orang Muna masih menempati goa sebagai
tempat tinggal mereka, tetapi mereka telah memiliki peradaban dan kebudayaan
yang cukup tinggi. Orang Muna saat itu seperti yang diceritakan dari relief
tersebut telah menggunakan alat-alat pertanian dalam bercocok
tanam. Pengetahuan mereka dibidang astronomi juga mulai mengalami perkembangan.
Hal ini dapat dilihat dari gambar matahari, bintang dan bulan.
Cikal bakal
wilayah kesultanan Buton adalah daerah Kalampa di desa Katobengke kecamatan
Betoambari kola Bau-bau Pulau Buton penduduk awalnya adalah Orang Muna. Menurut
tradisi lisan setempat wilayah ini merupakan pemukiman pertama dari tokoh-tokoh
utama (primus interparis) kerajaan Buton Wolio. Di tempat inilah mereka
membabat ilalang (Welia) untuk mendirikan tempat tinggal mereka. Dari wilayah
ini kemudian berkembang ke arah timur di daerah Tobe-tobe.[2]
Daerah ini
adalah suatu ”Kerajaan” lain yang bersatu dengan Wolio atas jalan damai karena
kepala daerahnya (rajanya) menjalin hubungan baik dengan Wolio. Semakin lama
Wolio terus berkembang dengan berdirinya pemukiman-pemukiman baru di sekitar
Kalampa dan Wolio. Pemukiman-pemukiman tersebut berkembang menjadi kampung dan
yang terkenal adalah Kampung Gundu-gundu dan Barangkatopa. (Haziroen : Agustus
l 994 dalam Susanto Zuhdi, 1996 : 6)[3]
Memasuki akhir
abad ke 13 terjadi migrasi masyarakat moderen mendarat di Buton berturut-turut
berasal dari China bernama Dungkung Changia, lalu dari arah Barat (Sumatera –
Malaka) berdatangan 4 orang pengembara (Sipanjonga, Sitamanajo, Sijawangkati, Simalui
dan seorang perempuan Sibana) dikenal juga sebagai Mia Pata Miana. Kemudian
disusul dengan kedatangan migran dari Jawa (Raden Sri Batara, Raden Jutubun dan
Raden Lailan Mangrani) namun cuma Raden Sri Batara yang menetap di Buton dengan
menikah dengan Wakaakaa.-[4]
Wakaakaa oleh
masyarakat Buton dipandang sebagai wanita suci berasal dan “lahir” dari sebilah
bambu (bhete yi tombula).[5]
Kehadirannya demikian misterius sehingga dimitoskan dan penuh kontroversi.
Sebagian orang menuliskan Wakaakaa berasal dari Tanah Arab dan termasuk salah
satu cucu Nabi Muhammad saw. Beliau adalah generasi ke 13 bila diurutkan sampai
kepada Nabi Muhammad saw.- Nama Arab Wakaakaa adalah Musyarrafatul Izzati Al Fakhri / Quraisy
Fakhri / Zam Zaawiya dari Madinatul Munawwarah.-[6]
Begitu kuatnya
daya magis yang menyelubungi diri Wakaakaa sehingga tatkala masyarakat Butuuni
hendak memutuskan mengangkat seorang pemimpin maka secara aklamasi Wakaakaa
dikukuhkan sebagai Raja Wolio I (Buton). Sejak saat itulah Kerajaan Wolio di
kuasai dinasti Wakaakaa secara turun temurun. Sejak penetapan raja pertama dan pengangkatan raja
kedua sampai dengan raja kelima adalah menggunakan sistem monarkhi absoludl.
Sistem pemerintahan “monarki” yang digunakan ini prakteknya dapat dilihat dalam
pergantian raja-raja yang berkuasa, yailu seorang raja yang meninggal dunia
atau mengundurkan diri.[7]
Sistem pemerintahan monarkhi dynasty Wakaka ini berlangsung selalam dua bad (
1332 – 1511 ). Sebagian
lagi beranggapan bahwa Wakaakaa adalah manusia biasa berasal dari daratan
China.
Apa yang terjadi di Buton dimana Wakaakaa kemudian diangkat sebagai Raja Buton I karena kehadirannya yang dianggap aneh dan penuh keajaiban, menyasar pula di Muna. Komunitas atau rumpun keluarga besar yang baru terbentuk di Muna akhirnya bermusyawarah memilih pemimpin untuk mengorganisasi kehidupan kelompok mereka. Konsep musyawarah dengan memilih salah seorang diantara rumpun mereka dalam sejarah Muna melahirkan seorang pemimpin bernama Baiduzzamani atau La Eli dengan gelar Bhenteno ne Tombula yang artinya “yang lahir dari bambu” atau lahir dari rumpun musyawarah.-(Lihat : Adjinur Halidin - NEGERI MUNA-BUTON (WUNA – WOLIO).
Antara Mitos, Mistik dan Mis-Interpretasi)[8]
Pengertian Bhenteno ne Tombula di sini bukan berarti orang tersebut
benar-benar lahir dari bambu akan tetapi hanyalah sebuah makna semiotik atau
makna simbolik yang arti denotatifnya adalah bermakna “rumpun keluarga besar”.
Perhatikan cerita Tula-Tulano Bheteno ne Tombula. Bandingkan dengan raja Buton
pertama yang bernama Wa Kaakaa yang juga memakai gelar “Bhenteno ne Tombula”
yang berarti “yang keluar dari bambu”.
Gelar raja Luwu yang pertama juga bergelar Sawe ri gading yang berarti
“yang lahir dari bambu atau gading”. Selain itu, masih banyak kerajaan lain di
Nusantara yang raja pertamanya lahir dari bambu seperti Kerajaan Pasai (wilayah
Malaysia sekarang), Kerajaan Kutai suku bangsa Dayak di Kalimantan Timur dan
Kesultanan Bulungan yang meliputi wilayah Tidung, Malinau, Nunukan, Tarakan,
Tawau dan Sabah yang juga termasuk suku bangsa Dayak di Kalimantan.
Yang menarik
adalah kisah penemuan Baiduzzamani, raja Muna pertama di dalam bambu memiliki
kesamaan kisah dengan penemuan Wa Kaakaa raja Buton pertama, penemuan Aji Julur
Dijangkat, raja Kutai pertama dan penemuan Jauwiru, raja Bulungan pertama,
seperti berikut ini.
1. Kisah penemuan Baiduzzamani dimulai dengan “Kepala kampung
memerintahkan rakyatnya pergi memotong kayu di hutan untuk keperluan membangun
bangsal pesta”.
2. Kisah penemuan Wa Kaakaa dimulai dengan “Kepala Negeri memerintahkan
rakyatnya pergi berburu di hutan”.
3. Kisah penemuan Aji Julur Dijangkat dimulai dengan “Kepala suku
memerintahkan rakyatnya pergi memotong kayu di hutan”.
4. Kisah penemuan Jauwiru dimulai dengan “Kepala suku memerintahkan
rakyatnya pergi berburu di hutan”[9]
Perjalanan Sawes
ri gading ke Muna bersama pasukan pengawalnya bermigrasi dari bagian Selatan
Sulawesi – tepatnya dari Luwu Sulawesi Selatan dikenal sebagai Kerajaan Tertua
di dunia, dengan menggunakan perahu. Hanya
karena terbenturnya perahu
tersebut pada ujung batu karang di bawah permukaan air itu, maka dengan
tiba-tiba muncullah daratan besar dari permukaan laut, yaitu pulau Muna
sekarang ini. (Perlu dicatat bahwa gunung tempat terdampamya perahu
Sawerigading itu masih dapat ditunjukkan. Nama gunung itu Bahutara; tempat ini
tak jauh dari kota Muna yang dahulu).
Di atas gunung itu sampai sekarang
terdapat sebuah batu besar yang menyerupai perahu. Setelah terdampar perahunya,
berjalanlah Sawirigadi di atas daratan yang baru muncul itu sampai pada
Wisenokontu (di sekitar kampung Tanjung Batu sekarang), dan dari sana ia
kembali ke tanah asalnya di seberang (wiseno kontu berarti 'didepan
batu). Setelah itu lakina Luwu mengutus beberapa orang untuk pergi mencari
perahu Sawirigadi. Sebagian dari orang-orang ini konon menetap di sini dan
merupakan penghuni pertama pulau Muna Kemudian mereka mendirikan suatu koloni
yang mereka namakan Wamelai.-[10]
Namun rupanya,
kisah tentang kapal Sawerigading tersebut di kisahkan terlalu hiperbolik
sehingga kisah itu diaggap hanyalah sebuah mitos atau bahkan dongeg sebelum
tidur. Betapa tidak, dalam berbagai literature yang mengisahkan tentang
Sawerigading mengungkapkan bahwa peristiwa petulangan Sawerigading
kejadiannya sekitar abad ke 13 Masehi. Jadi tidak masuk akal bangkai kapal yang
karam pada masa itu, saat ini sudah berubah menjadi batu.
Kejadian
karamnya kapal Sawerigading di Pulau Muna bisa jadi benar adanya, sebab tradisi
lisan masyarakat Muna tersebut memiliki kemiripan dengan kisah yng digambarkan
dalam epic I La galigo. Kisah dalam Epic tersebut mengisahkan bahwa
Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan
samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena
ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabeng yang ternyata saudara
kembarnya. Jadi dalam pengembaraannya tersebut, kemungkinan kapal Sawerigading
karam di sekitar Pulau Muna sehingga dia dan pengikutnya harus singgah dan
menetap di Pulau Muna. Namun karamnya kapal Sawerigading tersebut tidak
seperti yang diceritakan secara turun temurun dalam masyarakat Muna tapi di
suatu pesisir Pulau Muna.[11]
ISLAM MENJADI AGAMA RESMI
NEGARA[12]
Awal abad ke 15 –
sekitar thn. 1511[13]
migrasi dari Arab mendarat di Buton yakni Syekh Abdul Wahid - diakui sebagai
cucu Nabi Muhammad saw, dengan membawa serta ajaran Islam untuk disebarkan
kepada orang di Buton dan di Muna.- Kehadiran Syekh Abdul Wahid di Tanah Buton
(Butuuni) ternyata memberi dampak signifikan dan perubahan mendasar terhadap sistem
pemerintahan ketika itu dimana Tanah Wolio (Butuni) ketika itu diperintah oleh
seorang Raja Buton ke VI bernama La Kilaponto alias La Timbangtimbanga menjadi
negara bercorak Kesultanan dan La Timbangtimbanga menjadi Sultan Buton I dengan
nama Sultan Muhammad Isa Qaimuddin Khalifatul Khamis alias Murhum.- Sejak saat
itu maka seluruh pranata pemerintahan mulai dari tingkat atas hingga tingkat
paling bawah ditata menurut cara Agama Islam. Secara otomatis pula kepercayaan
masyarakat saat itu berpindah menganut Islam.- Islam dideklarasikan dan
ditetapkan sebagai Agama Resmi.-[14]
Sebagai Sultan, Murhum mulai melakukan penyesuaian
terhadap segala ketentuan, undang-undang dan berbagai peraturan kerajaan
menurut hukum Islam sehingga dikenallah semboyan yang akhirnya menjadi Falsafah
Kerajaan sebagai dasar pegangan Murhum dalam mengendalikan pemerintahan atas
kerajaannya.-
Bholimo
Arata Somanamo Karo
Bolimo Karo Somanamo
Lipu
Bolimo Lipu Somanamo
Agama
Bolimo Agama
Somanamo Fahamu
Artinya :
Tiada Guna Harta
Asalkan Diri
Tiada Guna Diri Asal
Negeri Selamat
Tiada Guna Negeri
Asal Agama Hidup
Tiada Guna Agama
Hidup Jika Tiada Faham
Bagaimana dengan
di Muna..?
Seperti kita
ketahui bahwa Sultan Muhammad Isa Qaimuddin Khalifatul Khamis alias Murhum
alias La Timbangtimbanga adalah putra I
Raja Muna ke 6 Sugi Manuru bersaudara sebanyak 12 orang. Tatkala La
Timbangtimbanga diangkat sebagai Raja Buton (Butuuni) ke VI masih merangkap sebagai
Raja Muna ke VII, adiknya yang bernama La Posasu diangkat sebagai Raja Muna ke
VIII menggantikan dirinya agar Beliau (Sultan Muhammad Isa Qaimuddin Khalifatul
Khamis) - dapat berkonsentrasi mengurus Kesultanan Buton (Butuuni), namun
dengan syarat dua kampong yang pernah dipimpinya sebagai Kino yakni La Kudo dan
Bombona Wulu ( sekarang wilayah administrasi Kabupaten Buton Tengah ) di
masukan kedalam teritorial Kesultanan Buton.
Dengan kembalinya
La Kilaponto ke Islam, maka dapat di duga Kerajaan Muna secara otomatis
menganut Islam juga sebagai agama resmi negara oleh karena itu corak dan sistem
pemerintahannya berdasarkan Ajaran Islam.- Sejak saat itu Kerajaan Muna dan
Kesultanaan Butuuni menjalankan syariat Islam dengan sebenar-benarnya. Adat
istiadat yang berkaitan dengan perkawinan / perceraian, pusaka mempusakai
(harta waris), hukum / pengadilan, ekonomi, susunan pemerintahan, prosesi
khitan (kangkilo), istinja hingga pelajaran disekolah semuanya bermuatan
Islam.-
Kedua negeri ini (Butuuni
dan Muna) mengikrarkan Islam sebagai sendi negara dan seluruh tata-aturannya,
ditetapkanlah adagium absolut bahwa “adat bersendikan sara – sara
bersendikan kitabullah sebagai falsafah hidup yang tidak dapat dianulir
oleh siapapun juga.- Pengamalan ajaran Islam tidak hanya terpaku pada pengamalan
syariat an-sich semata namun lebih jauh dari itu memasuki pula wilayah
tasawuf.- Melalui ajaran tasawuf lah Islam berkembang dengan sempurna di Buton
Muna karena dianggap lebih meresap dalam kalbu dan penuh hikmah kebijaksanaan.-
La Posasu
mengikuti jejak saudaranya dalam membentengi Kerajaan Muna dari pengaruh buruk
yang sewaktu-waktu muncul baik dari dalam ataupun dari luar kerajaan dan demi
memperkokoh persatuan dan menguatkan nasionalisme berlandaskan Islam maka La
Posasu pun menerapkan falsafah bersomboyan :
Hansuru-hansuru badha sumano kono hansuru liwu,
Hansuru-hansuru liwu sumano kono hansuru adhati,
Hansuru-hansuru ana adhati sumano tangka agama,
Artinya :
Biarlah hancur badan asalkan negeri terjaga
Biarlah hancur negeri asal adat istiadat terjaga,
Biarlah hancur
adhat asalkan Islam tetap tegak.-
SIKLUS HIDUP / DAUR HIDUP (LIFE
CIRCLE)
La Aso (2014: 63-166) mengganti istilah “Siklus
Hidup” atau “Daur Hidup” dengan istilah “Ritus Peralihan” dimaksudkan bahwa di
dalam ritus peralihan tersebut terdapat suatu tindakan yang biasanya dikaitkan
dengan bidang keagamaan yang dianut, bersifat seremonial dan tertata serta
dapat mengubah status sosial seseorang. Dalam pada itu, ia membagi ritus
peralihan pada masyarakat etnik Muna ke dalam enam ritus peralihan dan setiap
ritus peralihan terdiri atas sub-sub ritus peralihan.[15]
Keenam ritus tersebut terdiri dari :
1. Ritus Kasambu
2. Ritus Penyiraman
3. Ritus Penyuapan
4. Ritus Kampua
5. Ritus Kangkilo
6. Ritus Karia
Yang mengusik pikiran dan perasaan Penulis
terkait sesungguhnya adalah pengistilahan terhadap ke 6 ritus diatas masuk
dalam katagori “daur hidup / life circle” seolah sedang
membincangkan sebuah kehidupan yang akan “berulang” terus semisal dalam
pengertian “reinkarnasi”.- Orang Muna dan Buton “percaya” pada kehidupan yang
“berulang” atau “menitis” yakni berpindahnya ruh dari orang yang satu ke orang
yang lain baik itu melalui ritual khusus atau karena adanya kemampuan
supranatural seseorang mampu menitiskan “ruhnya” kepada orang lain apakah itu
saudara, anak atau orang yang dipercaya sanggup “mengemban” amanah kemuliaan
jiwanya.-
Dalam tulisan ini hanya membahas salah satunya
saja yakni “kangkilo” dan hubungannya dengan “istinja” dengan pertimbangan
bahwa kangkilo memberi efek psikologi yang dalam kepada pelakunya karena
kangkilo dipercaya sebagai indikator kesucian, kemuliaan, ketangguhan
dan kesiapan tuk menjadi dewasa.-
Kata kangkilo (bahasa Muna) berasal dari kata kerja dasar
“ngkilo” yang berarti berkhitan. Setelah mendapat awalan ka- maka
kata kangkilo menjadi kata benda yang berarti khitanan. Menurut Kamus Budaya Sulawesi
Tenggara, kangkilo adalah upacara penyunatan bagi anak-anak (Hanan dkk., 2007:
44). Khitan menurut Solikhin (2010: 167) adalah memotong kulit penutup ujung
zakar atau kemaluan laki-laki atau membuang bagian kelentit atau gumpalan
jaringan kecil pada ujung lubang vulva pada bagian atas kemaluan perempuan.
Dalam tradisi etnik Muna, kangkilo tidak
dilaksanakan seperti yang dijelaskan Solikhin di atas. Akan tetapi,
dilaksanakan dengan cara yang sangat sederhana, yaitu melukai sedikit dengan
silet atau pisau dapur kulit bagian kepala penis anak laki-laki atau melukai
sedikit bagian kanan kabumbu (kemaluan perempuan, khususnya bagian yang gembung
sebelah atas) sampai mengeluarkan sedikit darah.-
Tradisi kangkilo
di Buton terinspirasi dari mazhab Tasawuf Ibn ‘Arabi dari Spanyol yang di
Nusantara dikenal dengan konsep Martabat Tujuh (Braginsky;1993 – xi - xiv)
dimana didalamnya memunculkan pemahaman maasyarakat buton bahwa orang yang
telah melakukan kangkilo dengan sempurna akan selalu berada dalam
kondisi suci layaknya bayi yang baru lahir.- Ia akan suci sebagaimana
kejadiannya yang awal. Konsep kejadian awal ini merupakan konsep kesucian
makhluk yang dijelaskan dlam Martabat Tujuh pada Martabat /alam insan.-[16]
Tradisi kangkilo
ada dipekirakan sejak zaman pemerintahan Sultan Buton ke IV La Elangi (Lihat Niampe, 2007; Yunus, 1995). Pada masanya istilah Martabat Tujuh
diperkenalkan kepada masyarakat Buton. Dan pada masa pemerintahannya pula Kitab
Martabat Tujuh dikukuhkan sebagai Peraturan Undang-Undang Kesultanan Buton.-
Tradisi kangkilo dalam
masyarakat Buton meliputi: istinja yang mulai dari awal hingga
akhir, tata cara berwudhu serta segala hal yang dapat membatalkannya, tata cara
mandi junub, dan syahadat. Tata cara atau prosedur pelaksanaan kangkilo harus
mengikuti tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Kesalahan prosedur
menjadikan kangkilo yang dilakukan tidak sah.
PROSESI KANGKILO
Kangkilo adalah ritual
sunat adat yang biasa dilaksanakan sebelum usia pubertas anak. Prakteknya pada
anak laki-laki adalah menggores alat kelamin anak membentuk garis lurus ke atas
membentuk huruf alif, yaitu huruf pertama
hijaiyah dalam Aksara Arab.
Sementara pada anak perempuan dengan
cara melukai alat kelamin dalam bentuk titik huruf ba’, yaitu huruf hijaiyah
kedua dalam aksara Arab. Praktek kangkilo
atau sunat adat adalah praktek sunat secara simbolis, ketika darah sudah keluar
dan anak sudah merasakan sakit, maka prosesi melukai dihentikan. Tujuan ritual
ini adalah menghilangkan kotoran
yang disimbolkan dengan keluarnya darah sebagai simbol keluarnya kotoran
dari badan manusia.
Dalam tradisi etnik Muna, kangkilo tidak dilaksanakan seperti yang
dijelaskan Solikhin di atas. Akan tetapi, dilaksanakan dengan cara yang sangat
sederhana, yaitu melukai sedikit dengan silet atau pisau dapur kulit bagian kepala
penis anak laki-laki atau melukai sedikit bagian kanan kabumbu (kemaluan
perempuan, khususnya bagian yang gembung sebelah atas) sampai mengeluarkan
sedikit darah. Sebelum di-ngkilo (dikhitan), peserta kangkilo dipersilakan
berwudu seperti wudu untuk mengerjakan salat lima waktu.-
Setelah berwudu, peserta kangkilo laki-laki
memakai sarung dan kopiah hitam tanpa mengenakan celana dalam dan baju,
sedangkan peserta kangkilo perempuan hanya mengenakan sarung tanpa celana dalam
dan baju. Setelah peserta kangkilo siap untuk dikhitan, maka lebe atau sando
mempersilakan peserta kangkilo masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan.
Selanjutnya lebe atau sando mempersilakan peserta kangkilo duduk di atas sebuah
kelapa kering yang masih ada sabutnya. Selanjutnya lebe atau sando mulai
mengkhitannya. [17]
Setelah dilukai sedikit dengan silet atau pisau
dapur sampai mengeluarkan darah pada kulit bagian kepala penis anak laki-laki
atau melukai sedikit bagian kanan kabumbu (kemaluan perempuan, khususnya bagian
yang gembung sebelah atas) sampai mengeluarkan darah, lebe atau sando menadah
darah yang keluar dengan piring putih yang berisi abu dapur. Setelah darahnya
ditadah kemudian dioleskan air jeruk nipis pada bekas luka yang telah dikhitan.
Setelah itu peserta kangkilo dipersilakan untuk
beristrahat sejenak, kemudian lebe mendoai air dalam teko dengan doa penolak
bala. Pada saat mendoai air dalam teko dengan doa penolak bala tersebut, lebe
menghadap ke barat. Air dalam teko yang sudah didoai dengan doa penolak bala
dinamakan oe modaino. Seusai mendoai air dalam teko dengan doa penolak bala, lebe
mendoai lagi teko lain yang berisi air bersih dengan doa pembawa berkah. Pada
saat mendoai air dalam teko dengan doa pembawa berkah, ia menghadap ke timur.
Air dalam teko yang sudah didoai dengan doa pembawa berkah dinamakan oe metaano.-
Setelah lebe mendoai oe modaino dan oe metaano
dalam teko, peserta kangkilo dipersilakan duduk bertinggung mengahadap ke
barat. Selanjutnya dimandikan oleh lebe atau sando. Apabila peserta kangkilo
lebih dari satu orang, maka mereka duduk bertinggung dan berjejer mulai dari
yang tertua sampai yang paling muda. Anak yang paling tua duduk bertinggung
sebelah kanan dan anak yang paling muda duduk bertinggung sebelah kiri.
Saat pertama menetes oe modaino yang disiramkan
oleh lebe atau sando kepada peserta kangkilo harus ditampar/dipukul ke depan
sebanyak tiga kali. Lebe menyirami mereka satu per satu sampai air dalam teko
tersebut habis. Setelah habis oe modaino dalam teko peserta kangkilo
dipersilakan menghadap ke timur masih dalam posisi duduk bertinggung.
Selanjutnya disirami lagi dengan oe metaano di dalam teko. Saat disirami dengan
oe metaano, mereka tidak perlu lagi menampar/memukul air ke depan sebanyak tiga
kali.
Proses menyirami/memandikan peserta kangkilo sama
dengan proses memandikan peserta kasambu. Setelah disirami dengan oe modaino
dan oe metaano, peserta kangkilo dipersilakan untuk berwudu, seperti wudu
ketika mau melaksankan salat lima waktu. Setelah berwudu, mereka mengenakan
pakaian muslim, kemudian duduk di dalam ruangan yang sudah dipersiapkan untuk
mengikuti proses katoba (pertobatan). [18]
Mereka duduk di hadapan lebe yang akan menasihati
dan memberikan pemahaman tentang isi katoba dan disaksikan oleh keluarga dan
hadirin yang diundang. 299 Setiap peserta kangkilo sudah disediakan pitara-nya
masing-masing, yaitu satu liter beras putih ditaruh di dalam piring dan di atas
beras putih ditaruh sebutir telur mentah. Pitara tersebut ditaruh di depan
peserta kangkilo masing-masing. Sambil duduk bersila, mereka dibentangkan kain
putih.
Pada saat dinasihati dan diberikan pemahaman
tentang isi katoba, mereka memegang ujung kain putih yang dibentangkan di depan
mereka dan lebe yang menasihati dan memberikan bimbingan tentang isi katoba
juga memegang salah satu ujung kain putih tersebut. Pada saat dinasihati dan
diberikan bimbingan tentang isi katoba, peserta kangkilo diberikan tiga materi
pokok.
Pertama, pemahaman
tentang dua kalimat syahadat (pengakuan bahwa tidak ada Tuhan yang wajib
disembah, kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kedua,
wambano toba (bahasa toba), yaitu mengenai aplikasi dan implementasi rukun iman
(percaya kepada Allah, percaya kepada para malaikat, percaya kepada kitab-kitab
Allah, percaya kepada para Nabi dan para Rasul, percaya kepada hari
kiamat/kematian, dan percaya kepada qodha dan qodar/takdir baik dan takdir
buruk); dan rukun Islam (mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan salat
lima waktu, berpuasa penuh selama bulan Ramadan, membayar zakat fitrah, dan
menunaikan ibadah haji bagi orang yang sudah mampu). Ketiga, bimbingan
tentang tata susila atau sopan santun, misalnya taat kepada kedua orang tua,
menghargai dan menyayangi saudaranya, menghormati orang lain, tidak boleh
mengambil hak orang lain tanpa izin, tidak boleh berbohong, tidak boleh menjadi
saksi palsu dan sebagainya.[19]
Tradisi kangkilo dalam masyarakat Buton meliputi:
(1) istinja atau tata cara membuang hajat, mulai dari
awal hingga akhir,
(2) tata cara berwudhu serta segala hal yang dapat
membatalkannya,
(3) tata cara mandi junub,
(4) syahadat.
Luasnya cakupan dari tradisi kangkilo, maka pada tulisan ini hanya akan
dibatasi pembahasannya pada aspek istinja atau tata cara orang Buton membuang
hajatnya. Dan dengan pertimbangan untuk kedalaman analisis, membatasi data yang
dikaji hanya pada data tentang istinja yang diperoleh melalui hasil wawancara
dengan Muhammad Amin Idrus Akbar pada tahun 2000.[20]
Selanjutnya, sebelum diuraikan tentang konsep kesucian ritual dan
kesucian rasa dan akhlak dalam tradisi kangkilo dari aspek istinja, terlebih
dahulu diuraikan tentang masyarakat Buton yang dimaksud dalam tulisan ini.
Masyarakat Buton dalam tulisan ini adalah masyarakat yang menempati
daerah-daerah yang masuk dalam wilayah Kesultanan Buton masa lalu. Masyarakat
yang menempati bekas wilayah Kesultanan Buton saat ini meliputi masyarakat yang
berada di wilayah Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten
Muna, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Buton Utara. [21]
Untuk lebih jelasnya,
urutan atau tahapan serta lafaz niat yang diucapkan dalam tradisi kangkilo
diuraikan sebagai berikut.
Tata cara beristinja
dimulai ketika masuk WC hingga keluar dari WC.
Tata
cara itu mulai dengan:
(1) Meniatkan air yang hendak dipakai beristinja: kuala uwe makilo,
uwe modadi, uwe cahea yinuncana surugaana allaahu ta’ala to kupekangkiloaka
karoku yinunca te karoku yisambali”. (saya mengambil air yang suci, air
yang baik, air cahaya yang berasal dari surganya Allah Taala untuk membersihkan
diriku di luar dan di dalam).
(2) Setelah itu ditetapkan keyakinan: allahu ta’ala manga
pekangkilona, yi pekangkilo mohammadi”(Allah Taala yang menyucikan diriku,
yang menyucikan Muhammad).
Urutan pelaksanaan istinja yang
dipahami adalah sebagai berikut:
Yang pertama diistinja ialah bagian
pusat dengan ibu jari kiri dengan niat:
Bismillaahir
rahmaanir rahiimi. Kupaila zatuna te sifatuna hawa nafusuu te ibilisi saetani
laknatullah modangiana yi kalibi te momaina yi kalibi, modangiana i karona te
memaina yi karon a la…/wa…syi ambu (alingka)-mo yi sambalina dunia te akherati
(asfala safiliyn).
(kusucikan
zat dan sifatnya hawa nafsu dan iblis setan laknatullah yang ada di hati dan
yang datang dari hati, yang ada di badan dan yang datang dari badan la … /wa…..
untuk pergi keluar dari alam dunia dan akhirat (asfala safilin).
Kemudian mencuci pangkal paha kanan
dengan jari telunjuk kiri dan pangkal paha kiri dengan jari kelingking kiri.
niatnya:
”Kupaila zatuna te sifatuna
yiapaika bisa, panyaki, te yiapaiaka karombu modaangiana te momaina yi karona
la…/wa…siy, kupalingkaia yi sambalina dunia te akherati”.
(kubersihkan
zat dan sifatnya asal usul bisa, penyakit dan asal usul adanya kotoran yang
datang dari badan la…/wa…., saya simpan di luar alam dunia dan akhirat).
Setelah itu, orang yang melakukan
kangkilo mencuci jalanya air kecil dengan jari tengah kiri dan mencuci jalanya
air besar oleh jari manis kiri. Lalu mencuci bakong (pinggul) dengan tapak
tangan kiri dengan niat:
“Apekangkilomea te aparadikamea
allaahu ta’ala la…/ wa…siy, simbau apekangkilo te aparadika mohammadi
rasulullah s.a.w.
(saya
menyucikan hati yang disimpan Allah Taala pada La…/Wa…., seperti menyucikan
hatinya Nabi Muhammad Rasulullah Saw).
Kemudian
kembali mencuci jalanya air kecil, jangan sampai ada tetesan akhir, atau memang
demikianlah adanya bagi kesempurnaan istinja. Kemudian kita mencuci tangan,
muka dan kaki kanan dan kiri. tetapi sedapat-dapatnya ber-wudhu sebagaimana berwudhu
hendak sholat.-[22]
Adapun doa sesudah
beristinja bagi umumnya orang ramai ialah: allahumma thahhir qalbi minannifaaqi
wahasinu farjii minal fawaahisi (ya Allah, ya tuhan-ku! sucikanlah hatiku
daripada nifak dan peliharakanlah kemaluanku dari kekejian). Yang demikian itu
adalah doa semenjak anak-anak kecil. Sedangkan bagi dewasa utamanya bagi mereka
yang telah berkeluarga, maka haruslah disempurnakan sebagai ibadat baginya,
yang dilakukan dengan penuh kekhusyuan yaitu bagi mereka yang mau
menyempurnakan doa dan niatnya, maka mereka harus berwudhu.
Kemudian membaca: ”astaghfirullaahul
‘adhim, sebanyak 3 kali. alladzi laa ilaaha illa huwal hayyul kayyumu
waatubu ilaihi”. asyhadu an laa ilaaha ilaaha illallahu wahdahu laa syariika
lahu (niat) rohi-ku rohullah. wa asyhaduu anna muhammadan abduhu wa rasuuluhu
(niat) kasara-ku mohammadi, subhaanakallaahumma wabikahamdika laa ilaaha anta
‘amiltu suu-an wa dhalamtu nasfii astahfirukallaa-humma wa atuubu ilaika,
faghfirlii watub alayya innaka anta tawwaabur rahiim. allaahummaj alni min’
ibadikash ahaalihiina waj-‘alni abdan ahabuaran ayakuuran, waj-alinii adzkuru
katsiiran wa usabbihuka bukratan wa ashiilaa.”
Kemudian
mengambil kekhusyuan (khusyu) dan memanjatkan keyakinan:
”kupambulimea
kangkilona karoku siy yinuncana kalibina mia cahea yi alamu aruwaha siate.
kangkiloku kangkilona allaahu ta’ala opuna bari-baria rahamati ni’imati, opuna
bari-baria kangkilo, opuna bari-baria alamu. tepeneakamo te kalimatullah : “
laa ilaaha illallahu hakiimu kariimu wa subhannallahu rabbull arsy adhiim wal
hamdulillaahir rabbil alamin ” kun faya kun”. (saya kembalikan kesucian diriku seperti di
dalam kalbi yang berasal dari cahaya alam arwa. Menyucikan diriku menyucikan
Allah Taala, Tuhan yang memberikan rahmat, nikmat, tuhan yang maha suci, tuhan
segala alam). [23]
Setelah membaca doa itu
maka selesailah tentang istinja. Berdasarkan teks niat dari istinja sebagaimana
disebutkan di atas, diketahui bahwa tradisi kangkilo (istinja) berkaitan
dengan upaya untuk mewujudkan kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak.
PENUTUP
Demikian pula
dengan tradisi kangkilo pada
masyarakat Buton dapat kita lihat bahwa ada
beberapa fungsi dari pelaksanaan tradisi kangkilo pada masyarakat Buton
antara lain sebagai berikut.
(1) Fungsi
kesucian, dalam pelaksanaan tradisi kangkilo memiliki fungsi yang diyakini dan
dipercayai oleh masyarakat Buton di Desa
Balo Bone bahwa fungsi dari pelaksanaan
tradisi kangkilo adalah sebagai proses penyucian atau pembersihan diri, karena
tradisi kangkilo dalam adat istiadat
masyarakat Buton seorang anak yang beranjak remaja atau memasuki usia 7
- 12 tahun diwajibkan untuk di – kangkilo. Kangkilo di sini dimaksudkan
untuk pembersihan/penyucian diri dalam menghadapi tugas dan
kewajiban terhadap Allah swt.
(2)
Fungsi kesabaran yang ada pada tradisi kangkilo
terdapat pada saat memasuki khalwat (menyendiri ) untuk dipingit (ombo) selama
4 hari 4 malam. Disinilah anak diuji kesabarannya dengan maksud bahwa hidup di dunia itu penuh
dengan hambatan dan rintangan yang harus dijalani dengan ikhlas dan sabar.
(3)
Fungsi sosial pada masyarakat Buton, dimana dengan
adanya tradisi ini masyarakat hadir dan berkumpul yang dapat meningkatkan
hubungan silaturahmi antara sesama masyarakat. Tradisi kangkilo merupakan salah
satu tempat pemersatu antara anggota keluarga yang tempatnya di daerah lain. Bentuk persatuan yang diciptakan
dalam tradisi ini adalah makan bersama, kerja bersama dan duduk bersama
(melantai) ini merupakan salah satu bentuk persatuan mereka dalam prosesi
tradisi kangkilo.-[24]
Kangkilo sejatinya adalah peersiapan untuk meretas “jalan kembali”
melalui ritualitas yang dikembangkan dimana dilekatkan simbol-simbol untuk
dibaca dan diikuti. Pemaknaan simbol dalam kangkilo seperti disebutkan
pada 3 (tiga) fungsi di atas baru sebatas informasi yang sangat abstrak.-
Kesucian,
kesabaran dan kebersamaan baru langkah awal “berjalan” untuk menembus pekatnya
“perjalanan” jiwa yang penuh dengan tantangan dan godaan. Oleh karena itu
fungsi lebe tidak hanya bertindak sebagai penuntun membaca doa atau
mantra namun juga mengantarkan jiwa yang di-kangkilo agar benar-benar
menjadi fitrah dan suci sehingga terberkati serta mengalami pencerahan.-
Konsep
ritualitas kangkilo didesain dengan menggunakan metoda yang simpel untuk
membangun jembatan jiwa menuju Al Haq – sebagai tempatnya kembali.- Disini, doa
dan petunjuk-petunjuk kangkilo adalah sebuah upaya halus menarik diri
dari jurang kebinasaan menuju cahaya terang benderang, dari kegalauan pada
ketetapan dan kekuatan I’tikad hati serta bagaimana bathin membujuk badan /
zahir agar senantiasa lurus dan menghindarkan diri dari ma’siat.- Jalan lempang
ini menurut Syekh Siti Jenar dan Syekh al Halaj adalah jalan Manunggaling
Kawula Gusti – Saanguna Opu te Bhatua – Seiseno Opu bhe Ghata (Menyatunya Tuhan
dan Hamba).
(Penulis adalah Adjinur Halidin, Pemerhati Sosial dan Pendidikan)
Kepustakaan :
1.
Muhammad
Alimuddin - Orang Muna : Asal Usul, Perseberan Dan Peranannya
Dalam Membangun Peradaban Di Kepulauan Muna & Buton.-
2.
Abdul Mulku
Zahari – Sejarah dan Adat fiy Daarul Buthuni
3. Lihat : Adjinur Halidin - NEGERI MUNA-BUTON (WUNA – WOLIO) :
Antara Mitos, Mistik dan Mis-Interpretasi.…
4.
Susanto Zuhdi –
Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara : Kesultanan Buton
5.
Dr.Ir. Mujur Muif – Undang Undang Maratabat Tujuh : Sumber Filosofis Pancasila Sebagai Landasan Sistem
Demokrasi Ketuhanan Didalam Pembenahan Sistem Pemerintahan Dunia
6.
Youtube : Saffa
Ramadani
7.
Prof.
Laniampe dkk – Wuna Anghaini.
8.
J. Couvreur – Sejarah dan Kebudayaan Keerajaan Muna.
9.
Muhammad Alimuddin - Orang Muna : Asal Usul, Perseberan Dan Peranannya
Dalam Membangun Peradaban Di Kepulauan Muna & Buton.
10.
Hamiruddin
Udu – Pandangan Multikulturalisme Dalam Tradisi lisan Kangkilo Masyaraka
Buton.-
[1] Muhammad
Alimuddin - Orang Muna : Asal
Usul, Perseberan Dan Peranannya Dalam Membangun Peradaban Di Kepulauan Muna
& Buton
[2] -idem-
[3] Susanto Zuhdi – Kerajaan Tradisional
Sulawesi Tenggara : Kesultanan Buton
[4]
Abdul Mulku Zahari – Sejarah dan Adat fiy Daarul Buthuni
[5] Lihat : Adjinur Halidin - NEGERI
MUNA-BUTON (WUNA – WOLIO) : Antara Mitos, Mistik dan Mis-Interpretasi.…
[6] Dr.Ir. Mujur Muif – Undang Undang Maratabat Tujuh : Sumber Filosofis Pancasila Sebagai Landasan Sistem
Demokrasi Ketuhanan Didalam Pembenahan Sistem Pemerintahan Dunia
[7] Susanto Zuhdi dkk, 1996 : 18
[8] Adjinur Halidin - NEGERI MUNA-BUTON
(WUNA – WOLIO); Antara Mitos, Mistik dan Mis-Interpretasi
[9] Prof. Laniampe dkk – Wuna Anghaini
[10] J. Couvreur – Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna
[11]Muhammad
Alimuddin - Orang Muna : Asal
Usul, Perseberan Dan Peranannya Dalam Membangun Peradaban Di Kepulauan Muna
& Buton
[12]
Para Ulama penyebar Islam pasca Syekh Abdul Wahid, sejak saat itu datang
silih berganti di Butuuni. Umumnya para Ulama ini adalah Sayid (cucu Nabi
Muhammad saw) selain mengajarkan sariat Islam juga membawa pengetahuan
tasawuf.- Tidak heran jika pemahaman masyarakat Buton dan Masyarakat Muna
tentang Islam lebih diwarnai pemahaman tasawuf.- Para Habaib yang
berturut-turut datang di Butuuni lalu ke Muna sejak abad ke 14 – 19M antara
lain : Sayid Jamaluddin Al Kubra, Sayid Abdul Wahid Bin Syarif Sulaiman Al Fatani,
Lebe Pangulu Bin Sayid Abdul Wahid, Firus Muhammad, Sayid Alwi, Faqih Muda H. Abdul
Rahman Al Khadari, Sayid Raba, Sayidi Gunu Alias Sayid Abdul Qadir, Syekh
Muhammad Bin Sayid Sumbul Al Makki, Sayidi Mantobua, Sayidi Rongi, Sayidi Wali, Sayidi
Yi Koo – Youtube Saffa Ramadhani.-
[13] Abdul
Mulku Zahari – Sejarah dan Adat fiy Daarul Buthuni
[14] -idem-
[15] Prof. Laniampe dkk
– Wuna Anghaini
[16] Hamiruddin Udu –
Pandangan Multikulturalisme Dalam Tradisi lisan Kangkilo Masyaraka Buton
[17] Prof. Laniampe dkk –
Wuna Anghaini
[18] -idem-
[19] Prof. Laniampe dkk – Wuna Anghaini
[20] Hamiruddin Udu –
Pandangan Multikulturalisme Dalam Tradisi lisan Kangkilo Masyaraka Buton
[21] -
idem-
[22] Hamiruddin Udu –
Pandangan Multikulturalisme Dalam Tradisi lisan Kangkilo Masyaraka Buton
[23] -idem-
[24] -idem-