Situs goodstatsid pada tanggal 22 Mei 2023 menayangkan sebuah data yang membuat kita merasa sangat miris. Data tersebut mengenai tingkat perceraian yang terjadi selama tahun lalu, 2022.
Disebutkan dalam data tersebut, kasus
perceraian di Indonesia selama tahun 2022 sebanyak 516.334 kasus. Dan kalau
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 2021, terjadi peningkatan sebanyak 15%.
Kasus perceraian di tahun 2021 sebanyak
447.743 kasus.
Bahkan disebutkan, jumlah kasus perceraian
yang terjadi di tahun 2022 itu merupakan jumlah kasus perceraian tertinggi yang
terjadi dalam enam tahun terakhir.
Dari sumber yang sama diketahui, penyebab
kasus perceraian yang terjadi tersebut mayoritas karena cerai gugat. Artinya,
gugatan perceraian diajukan oleh pihak istri. Jumlahnya sebanyak 338.358 kasus
atau sebanyak 75,21% dari total kasus perceraian yang terjadi.
Sisanya, sebanyak 127.986 kasus atau 24,79%
perceraian terjadi karena adanya cerai talak. Hal ini berarti permohonan cerai
diajukan oleh pihak suami yang kemudian diputuskan oleh pengadilan.
Ini yang menambah miris. Lebih dari
setengah kasus perceraian yang terjadi di tahun 2022 itu diajukan oleh pihak
istri.
Situs yang sama juga menayangkan beberapa
faktor penyebab utama perceraian. Ternyata penyebab terbesar adalah adanya
perselisihan dan pertengkaran. Jumlahnya sebanyak 284.169 kasus atau setara
dengan 63,41% dari total kasus perceraian yang terjadi.
Penyebab terbanyak kedua di latarbelakangi
alasan permasalahan ekonomi (230.400 kasus). Penyebab lainnya adalah salah satu
pihak meninggalkan (172.800 kasus), karena poligami, dan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT).
Di situs yang lain, kompascom, disebutkan
ada 8 sumber konflik suami-istri yang menjadi penyebab perceraian terbanyak,
yaitu:
1. Penghasilan,
2. Anak,
3. Kehadiran pihak lain,
4. Seks,
5. Keyakinan,
6. Mertua,
7. Ragam perbedaan,
8. Komunikasi terbatas
Informasi atau data dari kedua situs di atas menguatkan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab dominan terjadinya kasus percerian. Dan ini yang melatarbelakangi artikel ini ditulis.
Mungkin sedikit tendensius kalau judulnya 'Saat Istri Minta Tambahan Uang Belanja'. Seolah-olah semuanya berawal dari (tuntutan) pihak istri. Namun ..., data di atas mengarahkan seperti itu.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, 'Bolehkah, atau pantaskah, seorang istri meminta tambahan uang belanja?'
Untuk menjawabnya, akan diceritakan salah
satu fragmen dari siroh nabawiyah (perjalanan hidup Rasulullah SAW).
Setelah berhasil menguasai wilayah yang
diduduki Yahudi Bani Nadhir, kaum Muslimin berhasil juga menaklukkan Bani
Quraidhah. Kedua suku dari Yahudi itu meninggalkan harta yang sangat banyak.
Dan semuanya menjadi harta rampasan perang milik kaum Muslimin.
Kabar kaum Muslimin mendapat harta rampasan
perang yang banyak sampai ke Madinah. Termasuk ke rumah istri-istri Rasulullah.
Sehingga kemudian istri-istri Rasulullah bersepakat, rumah mereka memang
berdekatan, untuk meminta tambahan uang belanja. Pertimbangan mereka,
Rasulullah sedang memiliki harta banyak dari bagian harta rampasan perang,
pasti akan mengabulkan permintaan mereka.
Lalu bagaimana sikap Rasulullah?
Dari sebuah sumber disebutkan bahwa
Rasulullah SAW selalu memberi uang belanja kepada istri-istrinya sebanyak untuk
kebutuhan setahun. Karenanya beliau tidak mengabulkan tuntutan tambahan uang
belanja dari istri-istri beliau.
Bahkan kemudian beliau mendatangi mereka
satu-persatu setelah mendapat wahyu dari Allah swt.
"Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, "Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan
perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan
cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridaan) Allah dan
Rasul-Nya, serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah
menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar."
(QS. Al-Ahzab: 28-29)
Beliau kemudian memberi istri-istrinya
waktu sebulan untuk menentukan pilihan. Beliau bersabda,
"Aku tidak akan masuk ke
kamar-kamar mereka selama satu bulan". (HR. Bukhari - Muslim).
Ada beberapa pelajaran yang kita dapat dari
kehidupan Rasulullah di atas. Pertama, seorang suami hendaknya memberikan uang
belanja yang memadai, tanpa menunggu permintaan dari istri. Rasulullah memberi
contoh memberi uang belanja sekaligus untuk selama setahun. Tentu ini
disesuaikan dengan kondisi kita masing-masing.
Allah swt berfirman,
"Hendaklah orang-orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan, orang yang disempitkan rezekinya,
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempatan." (QS.
ath-Thalaq: 7)
Kedua, adanya
tuntutan tambahan uang belanja dar istri adalah hal yang wajar. Apalagi kalau
suami dipandang mampu. Misalnya saat suami mendapat tambahan penghasilan.
Ketiga, ketika suami tidak mampu. Tidak
langsung marah (emosi) pada istri. Apalagi langsung menceraikan. Namun,
menjauhlah dari istri, untuk menunjukka sikap tidak setujunya. Rasulullah SAW
mendiamkan istri-istrinya selama sebulan. Waktu sebulan ini akan memberi jeda
kepada istri untuk memikirkan ulang tuntutannya.
Keempat, Rasulullah SAW memberi dua pilihan
kepada para istrinya, yaitu bercerai atau rida dengan yang telah diberikan
beliau. Rasulullah bersikap tegas – dengan memberi pilihan cerai – karena
beliau sebagai pemimpin harus memberi contoh hidup sederhana.
Semoga dengan memahami empat Pelajaran dari
kisah Rasulullah SAW di atas, tidak terjadi lagi perceraian gara-gara tuntutan
uang belanja dari istri.
Wallahu’alam.
Penulis, Urip Widodo, penulis, tinggal di Kota Tasikmalaya.